Asal-Usul Pancasila
Pancasila
memiliki daftar sejarah yang panjang selama ini. Pancasila sebagai dasar negara
dan sebagai ideologi negara tidak pernah lepas dari berbagai macam cobaan yang
secara otomatis menjadi ujuan dan cobaan bagi banga Indonesia. Sejarah
Pancasila dibagi menjadi beberapa tahap dimana pada setiap tahapnya terdapat
beberapa faktor dan peristiwa penting yang tentu saja tercatat dalam sejarah
Pancasila itu sendiri Dalam sejarah Perumusan Pancasila terdapat banyak peserta
di antaranya Mr. Muhammad Yamin, Mr. Soepomo, Ir. Soekarno, dan Piagam
Jarkarta. Perumusan Pancasila juga akhirnya di sahkan oleh PPKI setelah
Pancasila disempurnakan. Walaupun Indonesia sempat kesulitan mengalahkan para
penjajah terutama Belanda tapi akhirnya semua bisa diatasi.
Pancasila
adalah pandangan hidup dan dasar Negara Republik Indonesia. Pancasila juga
merupakan sumber kejiwaan masyarakat dan Negara Republik Indonesia. Oleh karena
itu secara tidak langsung Pancasila merupakan penjelmaan atau perwujudan Bangsa
Indonesia itu sendiri karena apa yang terkandung dalam Pancasila merupakan
kepribadian dan pandangan hidup Bangsa Indonesia.
Pancasila
mengatur asas kerohanian tertib hokum Indonesia yang di dalamnya pembukaan UUD
1945. Berdasarkan uraian di atas kiranya kita dapat menyadari bahwa Pancasila
merupakan falsafah Negara kita Republik Indonesia, maka dari itu kita harus
menjunjung tinggi dan mengamalkan setiap sila-sila pacasila karena disetiap
sila-sila Pancasila terdapat arti dan makna yang sangat besar.
Pohon
sukun itu, yang berdiri kokoh di atas bukit, menghadap kelaut. Di situlah, pada
tahun 1934 hingga 1938, Soekarno banyak merenung. Beberapa saksi sejarah
menuturkan, salah satu hasil perenungan Bung Karno di bawah pohon sukun itu
adalah Pancasila.
Pohon
sukun itu kemudian diberi nama “pohon Pancasila”. Lalu, lapangan—dulunya
bukit—tempat sukun itu berdiri di beri nama “Lapangan Pancasila”. Di Ende,
sebuah kota indah di Pulau Flores, Soekarno menjahit ide-ide besarnya mengenai
Indonesia masa depan, termasuk ideologi Pancasila.
Akan
tetapi, kita belum tahu seberapa besar pengaruh pengalaman Soekarno di Ende
dalam perumusan Pancasila. Fakta-fakta soal ini masih sangat minim. Dalam buku
otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Soekarno
mengatakan: “Di pulau Bunga yang sepi tidak berkawan aku telah menghabiskan
waktu berjam-jam lamanya merenungkan di bawah pohon kayu.
Ketika itu datang ilham yang diturunkan oleh
Tuhan mengenai lima dasar falsafah hidup yang sekarang dikenal dengan
Pancasila. Aku tidak mengatakan, bahwa aku menciptakan Pancasila. Apa yang
kukerjakan hanyalah menggali tradisi kami jauh sampai ke dasarnya dan keluarlah
aku dengan lima butir mutiara yang indah.”
Dengan demikian,
banyak yang menyebut Ende sebagai tempat “penyusunan gagasan-gagasan
Pancasila”. Setelah itu, seiring dengan proses di Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai
(Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan, BPUPKI), Soekarno makin
mematangkan gagasan tersebut.
BPUPKI
resmi dibentuk tanggal 29 April 1945. Badan ini, yang beranggotakan 63 orang,
memulai sidang pertamanya pada tanggal 29 Mei 1945. Nah, di sini ada
kontroversi: ada yang menyebut Mohammad Yamin menyampaikan pidato tanggal 29
Mei 1945 dan isi pidatonya sama persis dengan Pancasila sekarang ini.
Dalam pidatonya Yamin mengusulkan 5 azas: peri kebangsaan, peri
kemanusiaan, peri ke Tuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat.
Karena
itu, banyak orang yang menyebut Muhamad Yamin sebagai penemu Pancasila. BJ
Boland dalam bukunya, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, secara
terang-terangan menyebut Muh Yamin sebagai penemu Pancasila, bukan Bung Karno.
Tesis
ini makin diperkuat di jaman Orde Baru. Ini juga dalam kerangka
de-soekarnoisme. Nugroho Notosusanto, salah seorang ideolog orde baru, banyak
menulis tentang sejarah kelahiran Pancasila dengan mengabaikan sama sekali
peranan Soekarno.
Dengan
penelitian yang sudah bisa ditebak hasilnya, Nugroho Notosusanto menyimpulkan
bahwa penemu Pancasila bukanlah Soekarno, melainkan Mohammad Yamin dan Soepomo.
Itu menjadi pegangan dalam buku-buku penataran P4 dan buku-buku sejarah Orde
Baru.
Nugroho
Notosusanto, seorang yang anti-marxisme, menuding sila kedua Pancasila
versi Bung Karno, yaitu Peri Kemanusiaan/Internationalisme, sangat
identik dengan semangat internasionalisme kaum komunis.
Suatu
hari, ketika Bung Hatta memberi ceramah di Makassar, seorang mahasiswa
mengeritik Bung Hatta karena menyebut Bung Karno sebagai penggali Pancasila. Si
mahasiswa itu, entah dicekoki oleh kesimpulan Nugroho Notosusanto, menyebut
Mohammad Yamin sebagai penemu Pancasila. Hatta pun bertanya dari mana mahasiswa
tahu? Dijawab oleh sang mahasiswa, “Dari buku Yamin”. Hatta segera mengatakan,
“Buku itu tak benar!”
Rupanya,
menurut versi Bung Hatta, Mohamad Yamin tidak berpidato tentang 5 azas itu pada
29 Mei 1945. Pidato itu, kata Bung Hatta—yang saat itu anggota BPUPKI dan
panitia kecil—mengingat Pidato Yamin itu disampaikan di Panitia Kecil.
Menurut
Bung Hatta, yang saat itu juga anggota BPUPKI, penemu Pancasila itu adalah Bung
Karno. Saat itu, kata Bung Hatta, di kalangan anggota BPUPKI muncul pertanyaan:
Negara Indonesia Merdeka” yang kita bangun itu, apa dasarnya? Kebanyakan
anggota BPUPKI tidak mau menjawab pertanyaan itu karena takut terjebak dalam
perdebatan filosofis berkepanjangan.
Akan
tetapi, pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menjawab pertanyaan itu melalui
pidato berdurasi 1 jam. Pidato itu mendapat tepuk-tangan riuh dari anggota
BPUPKI. Sesudah itu, dibentuklah panitia kecil beranggotakan 9 orang untuk
merumuskan Pancasila sesuai pidato Soekarno. Panitia kecil itu menunjuk 9
orang: Soekarno, Hatta, Yamin, Soebardjo, Maramis, Wahid Hasyim, Abikusno
Tjokrosuyoso, dan Abdul Kahar Muzakkir.
Panitia
kecil inilah yang mengubah susunan lima sila itu dan meletakkan Ketuhanan Yang
Maha Esa di bagian pertama. Pada tanggal 22 Juni 1945 pembaruan rumusan Panitia
9 itu diserahkan kepada Panitia Penyelidik Usaha–Usaha Kemerdekaan Indonesia
dan diberi nama “Piagam Jakarta”.
Pada
18 Agustus 1945, saat penyusunan Undang-Undang Dasar, Piagam Jakarta itu
mengalami sedikit perubahan: pencoretan 7 kata di belakang Ketuhanan, yaitu
“dengan kewajiban menjalankan syariat islam kepada penduduknya.” Begitulah,
Pancasila masuk dalam pembukaan UUD 1945.
Apa
yang dikatakan Bung Hatta mirip dengan penuturan Bung Karno. Dalam Buku “Bung
Karno Penyambung Lidah Rakyat”, Bung Karno mengatakan, selama tiga hari sidang
pertama terjadi perbedaan pendapat. Artinya, jika sidang dimulai tanggal 29 Mei
1945, maka hingga tanggal 31 Mei belum ada kesepakatan.
Terkait
tanggal 29 Mei itu, seorang pakar UI, Ananda B Kusuma, menemukan Pringgodigdo
Archief. Dokumen ini cukup penting, sebab memuat catatan-catatan tentang sidang
itu. Menurut dokumen itu, orang-orang yang berpidato pada tanggal 29 Mei 1945
itu: MRM. Yamin (20 menit), Tn. Soemitro (5 menit), Tn. Margono (20 menit), Tn.
Sanusi (45 menit), Tn. Sosro diningrat (5 menit), Tn. Wiranatakusumah (15
menit).
Sidang
itu diberi alokasi waktu 130 menit. Akan tetapi, yang cukup aneh, Yamin disebut
berpidato 120 menit. Padahal, saat itu ada lima pembicara lain yang juga harus
menyampaikan pidatonya.
G.
Moedjanto, seorang sejarahwan, juga menemukan kejanggalan pada pidato
Yamin—yang disebut tanggal 29 Mei 1945 itu. Pada alinea terakhir berbunyi: “Dua
hari yang lampau tuan Ketua memberi kesempatan kepada kita sekalian juga boleh
mengeluarkan perasaan”. “Dua hari yang lampau” itu berarti tanggal 27 Mei 1945,
sedangkan sidang baru dibuka pada tanggal 29 Mei 1945. Artinya, seperti dikatakan
Bung Hatta, pidato Yamin itu memang disampaikan di Panitia Kecil—pasca Soekarno
menyampaikan pidato tanggal 1 Juni 1945.
Mohammad
Yamin sendiri mengakui Bung Karno sebagai penggali Pancasila. Itu dapat dilihat
di pidato Yamin pada 5 Januari 1958 : “Untuk penjelasan ingatlah beberapa
tanggapan sebagai pegangan sejarah: 1 Juni 1945 diucapkan pidato yang pertama
tentang Pancasila…, tanggal 22 Juni 1945 segala ajaran itu dirumuskan di dalam
satu naskah politik yang bernama Piagam Jakarta … dan pada tanggal 18 Agustus
1945 disiarkanlah Konstitusi Republik Indonesia, sehari sesudah permakluman
kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam konstitusi itu pada bagian pembukaan atau
Mukadimahnya dituliskan hitam di atas putih dengan resmi ajaran filsafat
pancasila.”
Roeslan
Abdulgani, yang sempat menjadi Menteri Penerangan di era Bung Karno, juga
menyebut Bung Karno sebagai penggali Pancasila. Dua pemikiran besar di dalam
pancasila, yaitu Sosio-nasionalisme (penggabungan sila ke-2 dan ke-3) dan
Sosio-demokrasi (penggabungan sila ke-4 dan ke-5), sudah ‘digarap’ oleh Bung
Karno sejak tahun 1920-an. Dalam konteks ini, Hatta juga punya peranan ketika
menaburkan ide-ide tentang demokrasi kerakyatan.
Dari
mana datangnya istilah Pancasila itu? Dalam buku “Manusia dan Masyarakat Baru
Indonesia (Civic)” dikatakan, kata “Pancasila” berasal dari bahasa Sangsekerta:
Panca berarti lima, sedangkan sila berarti dasar kesusilaan.
Sebagai
kata majemuk, kata “Pancaҫila” sudah dikenal dalam agama Budha. Bila diartikan
secara negatif, ia berarti lima pantangan: (1) larangan membinasakan makhluk
hidup, (2) larangan mencuri, (3) larangan berzinah, (4) larangan menipu, dan
(5) larangan minum miras.
Dalam
karangan Mpu Prapantja, Negarakretagama, kata “Pancaҫila” juga ditemukan
di buku (sarga) ke-53 bait kedua: “Yatnanggegwani Pancaҫila
Krtasangskarabhisekakrama (Raja menjalankan dengan setia kelima pantangan itu,
begitu pula upacara ibadat dan penobatan).
Akan
tetapi, jika diperhatikan dengan seksama, tidak ada keterkaitan antara Pancaҫila
dalam Budha dan Negarakretagama dengan Pancasila yang menjadi dasar atau
ideologi bangsa kita itu.
Bung
Karno, dalam kursus Pancasila di Istana Negara, 5 Juni 1958, membantah pendapat
bahwa “Pancasila (dasar negara kita) adalah perasan dari Buddhisme. Katanya,
Pancasila itu tidak pernah congruent dengan agama tertentu, tetapi juga
tidak pernah bertentangan dengan agama tertentu.
Soekarno
sendiri menolak disebut sebagai “penemu Pancasila”. Baginya, lima mutiara dalam
Pancasila itu sudah ada dan hidup di bumi dan tradisi historis bangsa
Indonesia. Soekarno hanya menggalinya setelah sekian lama tercampakkan oleh
kolonialisme dan penetrasi kebudayaan asing.
Pancasila sebagai dasar negara mengandung makna bahwa
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi dasar atau pedoman bagi
penyelenggaraan bernegara. Pancasila sebagai dasar negara berarti nilai-nilai
Pancasila menjadi pedoman normatif bagi penyelenggaraan bernegara.
Konsekuensi dari rumusan demikian berarti seluruh
pelaksanaan dan penyelenggaraan pemerintah negara Indonesia termasuk peraturan
perundang-undangan merupakan pencerminan dari nilai-nilai Pancasila.
Penyelenggaraan bernegara mengacu dan memiliki tolok ukur, yaitu tidak boleh
menyimpang dari nilai-nilai Ketuhanan, nilai Kemanusiaan, nilai Persatuan,
nilai Kerakyatan, dan nilai Keadilan